Jumat, 26 Desember 2008

Sejarah Desa Wonosari yang lebih di kenal dengan Gunung Kawi




Desa Wonosari terletak di lereng Gunung Kawi sebelah selatan, dengan ketinggian ± 800 M dari permukan laut yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Kebobang Kecamatan Ngajum pada tahun 1986, menjadi Desa Wonosari Kecamatan Wonosari dengan jumlah penduduk 6.677 jiwa, yang membawahi 4 (empat) Dusun :

1. Dusun Wonosari.
2. Dusun Sumbersari.
3. Dusun Pijiombo.
4. Dusun Kampung Baru.

Dari 4 (empat) Dusun tersebut diatas mempunyai sejarah yang berbeda. Keberadaan Desa Wonosari yang merupakan Desa Wisata Ritual, yang banyak dikujungi oleh wisatawan domestik maupun manca negara, yang lebih dikenal dengan Wisata Ritual Gunung Kawi, adapun kehidupan kehidupan sosial masyarakatnya masih berpegang teguh pada istiadat dan budaya sebagai warisan leluhur yang dipertahankan hingga sekarang. Pada umumnya masyarakat Desa Wonosari bermata pencaharian sebagai petani dan wirausaha yang berkaitan dengan Wisata Ritual Gunung Kawi.

Dengan berkembangnya Wisata Ritual Gunung Kawi yang disertai dengan beragam budaya yang agamis, maka pada tahun 2002 oleh Bpk. Bupati Malang dicanangkan dan ditetapkan sebagai “Desa Wisata Ritual Gunung Kawi”.

Adapun kronologi terjadinya desa Wonosari yang diawali pada tahun 1986 adalah desa Persiapan setelah pemekaran wilayah kecamatan Ngajum Ke kecamatan Wonosari, pada saat itu kepala desa ( P.J Kepala Desa ) dijabat oleh Bpk. Tasmain. Kemudian pada tanggal 7 Maret tahun 1989 menjadi Desa Difinitip. Dan pada tahun 1990 terjadi pergantian kepala Desa oleh kepala desa P. Mulyo Setiyono hingga 1996, selanjutnya hingga pada tahun 1998 kepala desa dijabat oleh P. Banjir sebagai P.J.S (pejabat sementara) dikarenakan P. Mulyo Setiyono menjabat tidak sampai akhir jabatan. Kemudian pada tahun 1998 terjadi pemilihan kepala desa yang dijabat oleh Bapak Gigih Guntoro hingga masa jabatan tahun 2006, untuk selanjutnya tahun 2007 terjadi pemilihan kembali Kepala Desa yang dijabat oleh P. Kuswanto S.H. sebagai Kepala Desa Wonosari hingga sekarang.


A. Kronologi Sejarah Berdirinya Desa Wonosari
Setelah menyerahnya Pangeran Diponegoro pada Belanda pada tahun 1830, banyak pengikutnya dan pendukungnya yang melarikan diri kearah bagian timur pulau jawa yaitu Jawa Timur. Diantaranya selaku penasehat spiritual Pangeran Diponegoro yang bernama Eyang Djoego atau Kyai Zakaria, beliau pergi keberbagai daerah diantaranya Pati, Begelen, Tuban, lalu pergi kearah timur selatan (tenggara) ke daerah Malang yaitu Kepanjen.
Pengambaranya mencapai daerah Kesamben Blitar, tepatnya di dusun Djoego, desa Sanan, kecamatan Kesamben kabupaten Blitar. Diperkirakan beliau sampai di dusun Djoego sekitar ± tahun 1840, beliau di dusun Djoego ditemani sesepuh desa Sanan bernama Ki Tasiman. Setelah beliau berdiam didusun Djoego desa Sanan beberapa tahun antara dekade tahun 1840 - tahun1850 maka datanglah murid-muridnya yang juga putra angkat beliau yang bernama R.M. Jonet atau yang lebih dikenal dengan R.M. Iman Soedjono, beliau ini adalah salah satu dari para senopati Pangeran Diponegoro yang ikut melarikan diri kedaerah timur pulau jawa yaitu Jawa Timur, dalam pengembaraanya beliau telah menemukan seorang guru dan juga sebagai ayah angkat di daerah Kesamben Kabupaten Blitar tepatnya didusun Djoego desa Sanan, yaitu Panembahan Eyang Djoego ayau Kyai Zakaria, kemudian R.M. Iman Soedjono berdiam di dusun Djoego untuk membantu Eyang Djoego dalam mengelola padepokan Djoego.
Pada waktu itu padepokan Djoego telah berkembeng, banyak pengunjung menjadi murid Kanjeng Eyang Djoego. Beberapa tahun kemudian dalam dekade ± tahun 1850-tahun 1860, datanglah murid R.M. Iman Soedjono yang bernama Ki Moeridun dari Warungasem Pekalongan. Demikianlah setelah R.M.Iman Soedjono dan Ki Moeridun berdiam di Padepokan Djoego, beberapa waktu kemudian diperintahkan pergi ke Gunung Kawi di lereng sebelah selatan, untuk membuka hutan lereng selatan Gunung Kawi, beliau Kanjeng Eyang Djoego berpesan bahwa ditempat pembukaan hutan itulah beliau ingin dikramatkan (dimakamkan), beliau juga berpesan bahwa di desa itulah kelak akan menjadi desa yang ramai dan menjadi tempat pengungsian (imigran).

Dengan demikian maka berangkatlah R.M.Iman Soedjono bersama Ki Moeridun disertai beberapa murid Eyang Djoego berjumlah ± 40 orang, diantaranya :
1. Mbah Suro Wates
2. Mbah Kaji Dulsalam (Birowo)
3. Mbah Saiupan (Nyawangan)
4. Mbah Kaji Kasan Anwar (Mendit-Malang)
5. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
6. Mbah Tugu Drono
7. Ki Kromorejo
8. Ki Kromosari
9. Ki Haji Mustofa
10. Ki Haji Mustoha
11. Mbah Dawud
12. Mbah Belo
13. Mbah Wonosari
14. Den Suryo
15. Mbah Tasiman
16. Mbah Tundonegoro
17. Mbah Bantinegoro
18. Mbah Sainem
19. Mbah Sipat / Tjan Thian (kebangsaan Cina)
20. Mbah Cakar Buwono
21. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa (asal Ciang Ciu Hay Teng- RRC)

Maka berangkatlah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun dan dibekali dua buah pusaka “Kudi Caluk dan Kudi Pecok” dengan membawa bekal secukupnya beserta tokoh-tokoh yang telah disebutkan namanya ditambah 20 orang sebagai penderek (pengikut), dan sebagai orang yang dipercaya untuk memimpin rombongan dan pembukaan hutan dipercayakan pada Mbah Wonosari .

Setelah segala kebutuhan pembekalan lengkap maka berangkatlah rombongan itu untuk babat hutan lereng sebelah selatan Gunung Kawi dengan pemimpin Mbah Wonosari. Setelah sampai dilereng selatan Gunung Kawi, rombongan beristirahat kemudian melanjutkan babat hutan dan bertemu dengan batu yang banyak dikerumuni semut sampai pertumpang-tumpang kemudian ditempat itu dinamakan Tumpang Rejo, setelah itu perjalanan diteruskan kearah utara disebuah jalan menanjak (jurang) dekat dengan pohon Lo (sebangsa pohon Gondang) disitu berhenti dan membuat Pawon (perapian) lama-kelamaan menjadi dusun yang bernama Lopawon, kemudian melanjutkan babat hutan menuju arah utara sampai kesebuah hutan bertemu sebuah Gendok (barang pecah belah untuk merebus jamu) yang terbuat dari tembaga, lama-kelamaan dinamakan dusun Gendogo. Setelah itu melenjutkan perjalanan kearah barat dan beristirahat dengan memakan bekal bersama-sama kemudian melihat pohon Bulu (sebangsa pohon apak/beringin) tumbuh berjajar dengan pohon nangka kemudian hutan itu disebut dengan Buluangko dan sekarang disebut dengan hutan Blongko, selesai makan bekal perjalanan dilanjutkan kearah barat sampai disebuah Gumuk (bukit kecil) yang puncaknya datar lalu dibabat untuk tempat darung (tempat untuk beristirahat dan menginap selama melakukan pekerjaan babat hutan, tempat istirahat sementara), kemudian tempat itu ditanami dua buah pohon kelapa, dan anehnya pohon kelapa yang satu tumbuh bercabang dua dan yang satunya tumbuh doyong /tidak tegak keatas sehingga tempat itu dinamakan Klopopang (pohon kelapa yang bercabang dua). Kemudian setelah mendapatkan tempat itirahat (darung) pembabatan hutan diteruskan kearah selatan sampai didaerah tugu (sekarang merupakan tempat untuk menyadran yang dikenal dengan nama Mbah Tugu Drono) dan diteruskan ke timur sampai berbatasan dengan hutan Bulongko, kemudian naik keutara sampai sungai yang sekarag ini dinamakan Kali Gedong, lalu kebarat sampai dekat dengan sumbersari, selesai semuanya kemudian membuat rumah untuk menetap juga sebagai padepokan, di rumah itulah R.M. Iman Soedjono dengan Ki Moeridun beserta seluruh anggota rombongan berunding untuk memberi nama tanah babatan itu. Karena yang memimpin pembabatan hutan itu bernama Ki Wonosari kemuuuudian disepakati , nama daerah babatan itu bernama dusun Wonosari.

Karena pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi dianggap selesai, maka diutuslah salah satu pendereknya / pengikut untuk pulang kedusun Djoego. desa Sanan Kesamben,untuk melapor kepada Eyang Djoego dahwa pembabatan hutan dilereng selatan Gunung Kawi telah selesai dilakukan, setelah mendengar laporan dari utusan R.M. Iman Soedjono tersebut maka berangkatlah Kanjeng Eyang Djoego ke dusun Wonosari di lereng selatan Gunung Kawi yang baru selesai untuk memberikan petunjuk-petunjuk dan mengatur siapa saja yang harus menetap di dusun Wonosari dan siapa saja yang harus pulang ke dusun Djoego dan juga beliau berpesan bahwa bila beliau wafat agar dimakamkan (kramatkan) disebuah bukit kecil (Gumuk) yang diberi nama Gumuk Gajah Mungkur. Dengan adanya petunjuk itu lalu dibuatlah sebuah taman sari yang letaknya berada ditengah antara padepokan dan Gumuk Gajah Mungkur yang dulu terkenal dengan nama tamanan (sekarang tempat berdirinya masjid Agung Iman Soedjono). Dan siapa-siapa yang menetap di dusun Wonosari diantaranya ialah :

1. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono
2. Ki Moeridun
3. Mbah Bantu Negoro
4. Mbah Tuhu Drono
5. Mbah Kromo Rejo
6. Mbah Kromo Sasi
7. Mbah Sainem
8. Kyi Haji Mustofa
9. Kyai Haji Muntoha
10. Mbah Belo
11. Mbah Sifat / TjanThian
12. Mbah Suryo Ngalam Tambak Segoro
13. Mbah Kijan / Tan Giok Tjwa

Demikian diantaranya yang tinggal di dusun Wonosari yang baru jadi, yang lain ikut Kanjeng Eyang Djoego ke Dusun Djoego, Desa Sanan, Kesamben, Blitar. Dengan demikian Kanjeng Eyang Djoego sering bolak-balik dari dusun Djoego – Sanan – Kesamben ke Dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk memberikan murid-muridnya yang berada di Wonosari Gunung Kawi wejangan dan petunjuknya.

Demikianlah dan pada hari Senen Pahing tanggal Satu Selo Th 1817 M,Kanjeng Eyang Djoego wafat. Dan jenasahnya dibawa dari dusun Djoego Kesamben ke dusun Wonosari Gunung Kawi, untuk di makamkan sesuai permintaan beliau yaitu di gumuk (bukit) Gajah Mungkur di selatan Gunung kawi .Dan tiba/ sampai di Gunung Kawi pada hari rabu wage malam, dan dikeramat (dimakamkan) pada hari kamis kliwon pagi.

Dengan wafatnya Kanjeng Eyang Djoego pada hari senen pahing, oleh Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono, setiap hari senen pahing selalu diadakan sesaji dan selamatan. Apabila hari senen pahing tepat pada bulan selo, diikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari untuk mengadakan selamatan bersama pada pagi harinya.dan sampai sekarang terkenal dengan nama Barikan.

Sepeninggal Kanjeng Eyang Djoego – Dusun Wonosari menjadi banyak pengunjung, dan banyak pula para pendatang itu menetap di Dusun Wonosari, dikala itulah datang serombongan pendatang untuk ikut babat hutan, oleh Eyang R.M. Iman Soedjono diarahakan kearah barat Dusun Wonosari rombongan pendatang itu berasal dari babatan Kapurono yang dipimpin oleh :

1. Mbah Kasan Sengut (daerah asal Bhangelan)
2. Mbah Kasan Mubarot (tetap bertempat di babatan Kapurono)
3. Mbah Kasan Murdot (ikut Mbah kasan Sengut)
4. Mbah Kasan Munadi (ikut Mbah kasan Sengut)

Juga diikuti temannya bernama Mbah Modin Boani yang berasal dari Bangkalan Madura, bersama temannya Mbah Dul Amat juga berasal dari Madura, juga diikuti Mbah Ngatijan dari Singosari bederta teman-temannya.
Dengan demikian Dusun Wonosari bertambah luas dan penduduknya bertambah banyak. Karena dengan bertambah luasnya dusun juga karena bertambah banyaknya penduduk, maka diadakan musyawarah untuk mengangkat seorang pamong yag bisa menjadi panutan masyarakat dalam mengelola dusunnya yang masih baru itu, maka ditunjuklah salah seorang abdi Mbah Eyang R.M.Iman Soedjono yang bernama Mbah Warsiman sebagai bayan. Dengan demikian Mbah Warsiman sebagai pamong pertama Dusun Wonosari.
Pada masa Mbah Eyang R.M. Iman Soedjono antara tahun 1871-tahun1876, dating seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Ny. Scuhuller, seorang putri Residen Kediri dating keWonosari Gunung Kawi untuk berobat kepada Eynag R.M Iman Soedjono. Setelah sembuh Ny. Schuller tidak pulang ke Kediri melainkan menetap di Wonosari mengabdi pada Eyang R.M. Iman Soedjono sampai beliau wafat pada tahun 1876, Ny, Schuller kemudian pulang ke Kediri.
Pada tahun 1931 datang seorang Tiong Hwa yang bernama Ta Kie Yam (mpek Yam)untuk berziarah di Gunung Kawi, tapi pek Yam merasa tenang hidup di Gunung Kawi dan akhirnya dia menetap didusun Wonosari untuk ikut mengabdi kepada Kanjeng Eyang sekalian (Mbah Djoego dan R.M. Soedjono) dengan cara membangun jalan dari pesarehan sampai kebawah dekat stamplat, pek Yam pada wktu itu dibantu oleh beberapa orang temannya dari Surabaya dan juga ada seorang dari Singapura, setelah jalan itu jadi kemudian dilengkapai dengan beberapa gapura, mulai dari stanplat sampai dengan sarehan.
Pada hari rabu kliwon tahun 1876 M. Kanjeng Eyang R.M. Iman Soedjono wafat, dan dimakamkan berjajar dengan makam Kanjeng Mbah Djoego di Gumuk Gajah Mungkur. Sepeninggalan Eyang R.M. Iman Soejono, dusun Wonosari bertambah ramai, maka dalam mengelola dusun masyarakat bermusyawarah lagi untuk memilih Pamong atau Kamituwo. Maka terpilih seorang tokoh yang bernama Mbah Karni sebagai Kamituwo Pertama dukuh Wonosari. Dan seterusnya , dukuh Wonosari mempunyai Kamituwo berturut-turut sebagai berikut :

1. Kamituwo Mbah Karni
2. Kamituwo Mbah Karyo Tarikun
3. Kamituwo P. Nitirejo
4. Kamituwo P. Taselim
5. Kamituwo P . Setin
6. Kamituwo P. Kemat
7. Kamituwo P. Yahmin
8. Kamituwo P. Tasmu'i

Demikianlah nama-nama pejabat Kamituwo dusun Wonosari dalam dekade tahun 1876 – tahun 1965. untuk periode antara tahun 1965 – tahun 2001 Kamituwo yang manjabat sebagai berikut :

1. P. Tasmuin
2. P. Maduri
3. P. Kandar (carteker) orang plaosan
4. P. Tasma'in (kades pertama)
5. P. Sugiono Banjir
6. P. Paidi Sareh

Dengan demikian maka lengkaplah pejabat Kamituwo dusun Wonosari samapai diadakan pemecahan desa pada tahun 1986 dari desa Kebobang pisah menjadi desa sendiri, yaitu desa Wonosari.

B. Tradisi Adat yang Ada di Desa Wonosari

1. Tradisi Barik'an

Tradisi ini pertama kali diawali oleh Kanjeng R.M. Iman Soedjono yaitu detelah wafatnya Kanjeng Eyang Djoego yang jatuh pada hari senen pahing detiap bulan yang jatuh pada hari malam senin pahing, beliau selalu mengadakan sesaji dan slamatan untuk memperingati wafatnya Kanjeng Eyang Djoego, dan apabila pada bulan selo acara ini akan di ikuti oleh seluruh penduduk desa Wonosari, biasanya acara barik'an ini dilaksanakan pada pagi hari dihari senen pahing.

Acara slamatan barik'an ini diera Kamituwo P. Tamu'I, dengan melihat banyaknya penduduk yang mengikuti acara slamatan barik'an akhirny7a tempatnya dibagi menjadi dua tempat, untuk Wonosari bagian padepokan kebawah sampai di Selotumpeng warga mengikuti barik'an di padepokan, untuk daerah diatas padepokan kearah utara diikuti dusun Sumbersari ditambah kampung Sobrah dan sebagian masyarakat Pijiombo dan Kampung Baru dilaksanakan di Pesarehan.

Tradisi ini dimulai sejak wafatnya Kanjeng Eyang Djoegopada tahun 1871 oleh Knjeng R.M. Iman Soedjono, hinggga sekarang acara slamatan barik'an tetap berjalan dengan baik.


2. Tradisi Bersih Desa

Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan pada era Kamituwo Mbah Karni yanag dilaksanakan setiap bulan Selo, karena pada bulan itu kegiatan masyarakat sudah ada renggangnya misalnya pajak-pajak sudah terbayar, tidak ada orang yang mempunyai hajat, dan kegiatan-kegiatan lainnya tinggal menunggu hasilnya khususnya pada bidang pertanian.
Pada awalnya Acara bersih desa ini pertama kali dilakukan dengan sederhana, yaitu dengan melakukan slamatan seadanya yang di ikuti seluruh penduduk dusun Wonosari, kemudian setelah berjalan beberapa waktu, lalu diadakan juga pagelaran Wayang Kulit yang dimulai pagi hari sampai dengan siang hari dengan ruwatan, dan juga pada malam harinya diadakan pagelaran Wayang Kulit biasa.
Untuk menentukan pelaksanaan bersih desa, para Pinisepuh desa dan tokoh-tokoh masyarakat berkumpul untuk bermusyawarah memilihkan hari yang baik untuk bersih desa.


3. Slamatan Adat, Tolak Balak Bulan Sapar dan Slamatan Jembatan di Wonosari

Tradisi ini pada awalnya terjadi pada awal pendudukan Nipon atau jaman Jepang antara tahun 1944 – tahun 1945 di Nusantara (Indonesia) khususnya pulau Jawa, terjadi bencana dengan menyebarnya wabah penyakit yang pes yang disebabkan oleh tikus, dan penyakit kolera begitu dasyatnya bencana itu, konon menurut cerita banyak orang yang mati yang disebabkan oleh wabah itu, hingga ada yang mengatakan pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal hingga waktu itu disebut dengan jaman pagebluk.
Pada jaman pagebluk, penyebaran penyakit pes dan kolera (epiderni) begitu meluas, yang terparah adalah didesa-desa, karena jauh dari dinas kesehatan oleh karena itu korban yang terbanyak adalah orang desa. Pada waktu itu orang-orang Jawa didesa percaya bahwa bencana pagebluk itu terjadi karena Kanjeng Ratu Roro Kidul sebagai penguasa laut kidul (samudra hindia) sedang menyebarkan prajuritnya untuk memcari orang untuk dibawa kelaut kidulsebagai budak penguasa laut kidul, maka disebarkan penyakit pes dan kolera,sehingga denga mudah mengambil jiwa-jiwa orang yang diperlukan.
Pada jaman itu begitu hebatnya penyakit itu sehingga menyebabkan banyak orang desa yang mengungsi, tidak berani berada di rumah atau tidur didalam rumah hingga keadaan dusun menjadi sunyi sepi, dengan melihat keadaan yang memprihatinkan itu, para pamong beserta pinisepuh dan tokoh masyarakat dusun Wonosari, kemudian berkumpul untuk bermusyawarah mencari cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Lalu disepakati oleh pamong, tokoh masyarakat dan pinisepuh untuk berprihatin dengan berpuasa memohon petunjuk kepada Allah Yang Maha Kuasa. Selain itu juga menyuruh orang untuk pergi keorang-orang tua yang pintar dan mengerti. Akhirnya mandapatkan petunjuk untuk slamatan tolak balak yang harus dilaksanakan diperempatan dusun, dengan adanya petunjuk atau wangsit tersebut maka dilaksanakanlah slamatan tolak balak dengan di ikuti seluruh penduduk Wonosari beserta pamongnya pada bulan Sapar, dan dilaksanakan pada pagi hari.
Dari tahun ketahun tradisi slamatan tolak balak dibulan Sapar, terus dilakukan hingga pembangunan jembatan di dusun Wonosari sebelah selatan (stamplat) pada waktu terjadi sesuatu yang aneh, waktu jembatan terbuat dari kayu Glugu (pohon kelapa) setiap kali jembatan selasai dikerjakan, pada malam harinya runtuh hal tersebut terjadi berulang kali, hingga pada suatu hari lewat seorang yang bernama Aris daari desa Sumbertempur dan tiba-tiba Aris dan kudanya jatuh terplosok kebawah jembatan, dsetelah kejadian itu, selang dua atau tiga hari datang seorang dalang bernama mbah Wirindan, pada pagi-pagi hari sepulang dari mendalng di Sumber Manggis, tiba-tiba jatuh dan kesurupan, dimana beliau mengatakan harus slamati dan mengadakan kesenian tayub oleh among dan parapinisepuh, akhirnya dilaksankanlah slamatan dan kesenian andong (tayub keliling) dan itu terjadi tepat dibulan Sapar. Setelah itu jembatan tidak pernah runtuh lagi dan keadaanmenjadi tenang.
Bertahun-tahun kemudian dengan dibukanya jalan raya dari Wonosari melalui dusun Bumirejo sampai ke Ngebyongan desa Tumpang Rejo, kendaraan roda empat bisa langsung masuk sampai dusun WonosariGunung Kawi ( sebelumnya melewati dusun Gendogo dengan menaiki kuda), dikarenakan itulah jembatan dari kayu glugu perlu diperbaiki dan siperkuat sehingga oleh bapak kamituwo yang pada saat itu didipin oleh P. Tasmui jembatan dibongkar dan diperbaiki diganti dengan beton. Dan terjadi keanehan lagi, setiap siangnya selesai dibangun, malanya roboh lagi, masalah itu terjadi berulang kali hingga membuat pusing para pamong dan pemborong jembatan karena tak kunjung selesai, akhirnya disepakati para pamong desa dan para pinisepuh untuk berprihatin memohon wangsit dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, selang bebrapa waktu, kemudian para pinisepuh mendapat wangsit, bahwa diatas jembatan harus diadakan slamatan setelah itu harus diadakan kesenian tari remo dan tayuban didekat jembatan. Oleh para pamong acara itu diadakan tepat pada bulan Sapar bersama dengan acara slamatan tolak balak dusun Wonosari, setelah dilaksanakan slamatan dan kesenian tayub diatas jembatan akhirnya pembangunan jembatan bisa dibangun sesuai rencana.
Demikianlah dusun Wonosari dengan segala tradisi dan adat istiadatnya yang telah berjalan puluhan tahun sampai sekarang.



D. Kronologi Sejarah Dusun Wonosari


Diperkirakan antara tahun 1871 - tahun1876, datang rombongan dari desa Babatan Kapurono yang dipimpin oleh Mbah Kasan Sengut yang aslinya berasal dari Begelen Jawa Tengah, bersama dengan saudaranya yang bernama Mbah Kasan Munadi juga diikuti oleh beberapa temannya (sahabat) yang bernama Mbah modin atau Mbah Srani dan Mbah Dul Amat yang daerah asalnya Bangkalan Madura, juga Nijan dari singosari dengan beberapa orang pengikut.
Mereka datang untuk mencari tanah atau hutan yang bisa dibuka untuk dusun baru, sewaktu bertemu dengan Kanjeng Eyang R.M.Iman Soedjono rombongan itu disarankan untuk babat hutan sebelah barat dusun Wonosari, maka dilaksanakanlah membuka hutan sebelah barat dusun Wonosari yang dipimpin oleh Mbah Kasan Sengut. Setelah selesai malakukan pembabatan hutan, maka dinamakanlah dusun Babatan, tetapi lama-kelamaan dengan ditemukan banyak sumber mata air dan ada pula sumber mata air yang cukup besar didaerah itu, maka nama dusun itu manjadi dusun Babatan Sumbersari kemudian menjadi dusun Sumbersari.

Seiring dengan bertambahnya penduduk diwaktu itu, dusun Sumbersari dipimpin oleh seorang pamong, dan nama-nama sebagai Bayan antara lain :

1. Bayan P. Darim

2. Bayan P. Jari Kabul

3. Bayan P. Saimun

4. Bayan P. Astro

5. Bayan P. Tunah

6. Bayan P. Rasimun

Dan selama itu dusun Sumbersari tetap bergabung dengan dusun Wonosari sebagai dusun induk, karena kedudukan kamituwa berada di Wonosari. Setelah Wonosari menjadi desa sendiri terpisah dari desa Tumpang Rejo, kemudian dusun Sumbersari pamongnya menjadi Kamituwo atau kepala dusun, dengan nama-nama urutan kamituwo dusun Sunbersari sebagai berikut :

1. Kamituwo P. Tasemat

2. Kamituwo P. Yuliadi

3. Kamituwo P. Yon Supriyono

Selain itu dusun Sumbersari mempunyai adat bersih dusun yang juga dilaksanakan setiap bulan Selo. Biasanya acara bersih dusun ini selalu mengadakan slamatan yang diikuti seluruh penduduk Sumbersari yang dilaksakan di sumber air pada pagi harinya, dan pada sore harinya dirumah Kamituwo setempat.

Menurut adat tiap-tiap bersih dusun selalu diadakan pagelaran wayang kulit, berbeda dengan adat slamatan tolak balak bulan Sapar, didusun Sumbersari slamatan dilakukan pada pagi hari diperempatan dusun dengan nasi dalam Gendok dengan lauk telor ditanak didalam nasi yang disebut slamatan Sego Uduk.

Demikianlah dusun Sumbersari dengna segala adapt istiadatnya, dan telah bertahun-tahun dilaksanakan sampai sekarang.



E. Kronologi Sejarah Kampung Sumber Sobrah

Setelah hutan Sumbersari menjadi dusun yang baik, ternyata Mbah Modin atau Mbah Srani bersama temanya Mbah Dul Amat mereka berasal dari Bangkalan Madura, tidak menetap didusun Sumbersari, mereka bersama beberapa orang pengikutnya, kemudian beliau pergi kearah barat dusun Sumbersari, dan membuka lahan sendiri.

Dihutan itu mereka berdua bersama pengikutnya, dan membuka hutan untuk membuat kampung sendiri. Waktu membuka hutan itu mereka menemui sebuah sumber air (mata air) yang cukup besar dan didekat sumber air itu tumbuh pohon yang besar dengan sulunya yang sangat banyak menjulur sampai kebawah (nyebrok), dan pohon itu mereka namakan pohon sebra. Dan akhirnya hutan babatan setelah menjadi kampong mereka namakan kampong Sumber Sobrah. (pohon sebra itu sejenis pohon Kina), dan tetap bergabung dengan dusun Sumbersari dan Wonosari. Lama-kelamaan Sumber Sobrah menjadi ramai, lalu dipilih pamong sebagai bayan pamong adalah :

1. Bayan P. Seni Sadi

2. Bayan P. Maduri

3. Bayan P. Karyo Sadimin (berasal dari blitar)

4. Bayan P. Darmo

5. Bayan P. Wongso / P. Misiyo

Mengenai adat tradisi yang ada, yaitu bersih dusun yang dilaksakan tiap dulan Selo, juga mengikuti adat barikan di Wonosari tiap hari senen pahing bulan selo.



F. Kronologi Sejarah Dusun Pijiombo

Dusun Pijiombo terletak sebelah selatan kampung Sobra, dan sebelah barat dusun Wonosari. Dusun ini terjadi setelah dusun Sumbersari berdiri, salah satu teman Mbah Kasan Sengut yaitu Mbah Ngarijan yang berasal dari singosari, beserta para pengikutnya ternyata tidak menetap didusun Sumbersari, maka meneruskan membabat hutan kearah barat, sebelah selatan Sumber Sobrah dan membuka hutan untuk membuat lahan baru dan juga untuk mencari sumber air yang cukup besar setelah menemukan sumber air yang diharapkan kemuadian mereka menetap dan melakuka pembukaan hutan, yang pada saat itu hutan terdiri dari pohon Piji yang sangat luas (dalam bahasa jawa disebut Ombo).

Kemudian setelah menjadi lahan pembukaan yang cukup baik lalu diberi nama dusun Pijiombo dan mata air itu dijadikan babangan yaitu tempat segala keperluan penduduk dalam mencari air untuk keperluan sehari-hari, setelah dusun pijiombo menjadi ramai dan berkembang maka berdatanglah orang untuk menetap yang diantaranya seorang yang bernama Mbah Kasiran yang berasal dari dusun Kebobang dan telah pernah belajar kesenian tari topeng dari dusun Segreng, dengan keahlianya itu Mbah Kasiran kemudian melatih masyarakat Pijiombo denagn kesenian tari topeng.

Dengan berkembangnya waktu, masayarakat Pijiombo yang waktu pamongnya Mbah Baris (berada di kampong baru) mengadakan bersih dusun dengan sederhana yaitu dengan slamatan dan mengadakan kesenian terbangan (terbang jidor) yang didatangkan dari desa Sumbertempur, selanjutnya acara bersih dusun diadakan dengan kesenian wayang Glutek (wayang beber) dan pada kelanjutannya acara kesenian wayang kulitdan kesenian topeng.

Khusus untuk kesenian topeng acara ini dipentaskan dibabagan (sumber air), untuk wayang kulit diadakan dirumah pamong. Pernah terjadi hura-hura dikala kamituwonya P. Mat Sekok, dimana tingkat kriminal yang tinggi, terjadi bencana tanah longsor dan bencana alam lainya timbulnya wabah berbagai penyakit. Karena waktu bersih dusun tidak diadakan pementasan kesenian tari topeng di babagan (sumber air). Akhirnya masyarakat Pijiombo menyadari kelalainya, akhirnya diadakanlah kesenian pementasan kesenian topeng di babagan, setelah itu dusun Pijiombo menjadi tenang dan sesuai harapan sirep (tenang) dan kehidupan pulih seperti sedia kala. Dan akhirnya setiap bersih dusun diadakan kesenian tari topeng pasti dipentaskan dibabagan.

Dikala itu kepamongan atau kami tuwo dusun Pijiombo digabung dengan dusun kampung baru. Tokoh-tokoh masyarakat Pijiombo yang pernah menjadi kamituwo (bergantian dengan tokoh masyarakat kampong baru) :

1. Kamituwo P. Karimun

2. Kamituwo P. Mat Sekak

3. Kamituwo P. Karto Daim

4. Kamituwo P. Matdanu

Demikianlah dusun Pijiombo dengan segala tradisi dan adat istiadatnya yang telah berjalan puluhan tahun sampai sekarang.



G. Kronolagi Sejarah Dusun Kampung Baru

Dikala Mbah Nagrijan bersama pengikutnya membuka hutan di Pijiombo bersama dengan Mbah Suryo Ngalam membuka hutan disebelah barat dusun Pijiombo, waktu itu hutan masih banyak ditumbuhi rumputan yang dinamakan serapan (rumput yang tinggi) oleh karena itulah, setelah hutan itu menjadi lahan bukaan yang sangat luas, oleh Mbah suryo nagalam tambak segoro dinamaka Resap Ombo.kemudian beliau bersama keempat istrinya tinggal menetap ditanah bukaan yang diberi nama resap ombo. Beliau ini dan pengikutnya adalah penderek Kanjeng Eyang Djoego yang mengikuti R.M. Iman Soedjono dalam membuka hutan dilereng selatan Gunung Kawi yaitu Wonosar, beliau tidak memilih menetap diWonosari melainkan memilih membuka lahan sendiri disebelah selatan hutan Pijiombo yang dinamakan resap ombo, lama kelamaan banyak pendatang yang menetap diresap ombo kemudian disebelah utara yang berbatasan dengan hutan yang disebut hutan Kermitan, dating seklompok orang dan menetap dam membuat rumah, oleh penduduk resap ombo daerah ini dinamakan Kampung Anyar atau Kampung Baru sehingga kampong resap ombo berubah menjadi Kampung Baru.

Dikala itu ada seorang Belanda yang mernama Tn. Dian yang membuat kebun teh sehingga banyak kuli-kuli yang tinggal di Kermitan, kebun teh terletak disebelah utara perbatasan dengan hutan, kampong kermitan yang dipimpin Mbah Tugi Poncorejo, di dusun kampung baru ini juga ada upacara adat bersih dusun yang dilakukan oleh pamong yang pertama yaitu Mbah Bario selaku Kamituwo secara tradisional dan sederhana yaitu dengan slamatan biasa oleh seluruh masyarakat, kemudian diera kamituwo P. Sokiran Tukijan baru diadakan pagelaran wayang kulit dan setiap bulan Sapar diadakan selamatan tolak-balak setelah mengalami bencana pagebluk yaitu dengan cara mengadakan slamatan yang ditempatka di takir (tebuat dari daun pisang yang berbentuk pesegiempat) diperempatan jalandan diberi sabuk jamur yang disebut slamatan takir plontang.

Pada jaman itu untuk jabatan pamong masih bergabung dengan Pijiombo. Tokoh –tokoh masyarakat yang pernah menjadi kamituwo antara lain :

1. Kamituwo Mbah Baris

2. Kamituwo Mbah Pancarejo

3. Kamituwo Mbah Tukijan Sukiran (berasal dari ponorogo)

4. Kamituwo Mbah Ramon

5. Kamituwo Mbah Rahmat

6. Kamituwo P. Kademun

Kinio kampong Baru telah menjadi dusun sendiri setelah Wonosari menjadi desa berpisah dengan Tumpangrejo.



H. Kronologi Kampung Selo Tumpeng

Letak kampung selotumpeng disebelah barat dusun Wonosari, yang membuka huta atau bedah kerawang oleh orang yang berasal dari watu tumpeng wagir yang bernama buyut Samiun dan buyut Darmo, setelah daerah itu menjadi lebar lalu diberi nama selotumpeng untuk mengingat asal daerah yang membuka hutan . setelah daerah itu menjadi namci (banyak pendatang yang menetap) kemudian kampong Selotumpeng bergabung dengan dusun Wonosaridan menajdi salah satu Rw.

Untuk adat istiadatmengikuti dusun induk-induk seperti bersih dusun, adapt saparan maupun barian. Nama-nam penduduk selotumpeng yang pernah menjadi pamong antaralain:

1. Bayan P. Arbani

2. Bayan P. Mat Rais

Dengan demikian maka lengkap sejarah keberadaan desa Wonosari dengan segala tata cara dan adat-istiadat.



Responden (nara sumber) :

1. kampung Selotumpeng : - Mbah Darnoto (70 th.)

2. Dusun Wonosari : - Bpk. Tanu Suparto (68 th.)

- Bpk. Sugiyar (72 th. )

- Bpk. Soekarno (60 th.)

3. Dusun Sumbersari : - Bpk. Soedjono (72 th.)

4. Sumber Sobrah : - Mbah Darmo (74 th. )

: - Mbah Rontiyah (70 th.)

5. Dusu Pijiombo : - Bp. Hartoyo (70 th.)

6. Dusun Kampung Baru : - Mbah Sumono (89 th.)

- Mbah Kademun (74 th.)



Penyusun :

1. Bpk. Kuswanto S.H. Kepala Desa Wanosari

2. Bpk. Irwan Sumadi BPD Dasa Wonosari

3. Bpk.. Mansyur BPD Desa Wonosari

4. Bpk. Sunarto LPMD Desa Wonosari